Go Green !

Holligreenies

Wasiat Qur'an

“ Dan ingatlah akan nikmat Allah SWT kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah SWT mempersatukan hatimu, kemudian menjadikan kamu karena nikmat Allah SWT orang-orang yang bersaudara. ” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Wasiat Ulama

" Sebagaimana aku wasiatkan kalian untuk semangat dalam persatuan dan persaudaraan diantara kalian, dan saling menasehati diantara kalian dengan cara lemah lembut dan halus, dan menjauh dari sebab-sebab perselisihan, perpecahan, dan sebab yang menyebabkan kalian lalai dalam berdakwah dan mengalami kemunduran dalam berdakwah. Semua itu penyebabnya adalah perselisihan yang terjadi diantara kita. Jika muncul permusuhan atau perselisihan, hendaknya kedua belah pihak berusaha untuk menyelesaikannya dengan berbagai jalan dan usaha. " (Nasehat Syaikh Khalid Bin Dhahawi Azh-Zhafiri Hafizhahullah Ta’ala. Juli, 2011)

Qur'an Online

Listen to Quran

Sabtu, 13 Agustus 2011

Gradualisme Hukum Islam.


Gradualisme Hukum Islam

Jumat, 29 July 2011 
Oleh : Ust. Jeje Zaenudin

Gradualisme Hukum Islam
Keyakinan umum kaum muslimin bahwa syariat Islam tidak diturunkan secara sekaligus, melainkan melalui proses pentahapan, gradual atau tadarruj yang sangat sistematis. Keyakinan ini dibangun paling tidak atas dua argumen yang kokoh. Pertama, laporan-laporan para pencatat dan pengkaji sejarah Islam yang memaparkan fakta-fakta sejarah penurunan Al-Qur’an dan perjalanan karir kenabian Muhammad SAW., sejak penerimaan wahyu pertama sampai kewafatannya. Bukti-bukti otentik tentang penurunan wahyu secara berangsur-angsur dan jejak-jejak perjalanan dakwah Nabi Muhammad yang menunjukkan adanya tahapan-tahapan perkembangan dalam penerapan syariat Islam menuju cita-cita idealnya, terutama adanya proses hijrah Nabi dan kaum muslimin dari Mekah ke Madinah hingga terbentuknya masyarakat muslim yang benar-benar ideal pada zamannya, tidak mungkin dapat terbantahkan. Kedua, kesaksian dan penegasan eksplisit dari Al-Qur’an itu sendiri bahwa ia diturunkan beransur-ansur secara sengaja mengikuti kehendak yang mewahyukannya, yaitu Allah Tuhan semesta alam. Di antara ayat yang paling terang tentang ini adalah bunyi surat  Al Isra ayat 106, “Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”
Pada ayat lain bahkan ditegaskan bantahan kepada kaum musyrikin yang merasa keheranan kenapa Al-Qur’an mesti diturunkan secara sedikit-demi sedikit tidak sekalgus saja. “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (Al Furqaan : 32)
Pentahapan dalam penurunan syariat memberi implikasi perkembangan pemikiran di bidang hukum Islam yang sangat penting di kemudian hari. Sehingga lahirlah nadhariyah atau teori tentang asas tadarruj,atau gardualisme alias keberangsuran penurunan dan pelaksanaan hukum syariat. Memang kalau ditelusuri dari aspek historis dan kronologis penurunan semua syariat Islam itu bertahap. Ibadah ritual (mahdhah) seperti shalat, shaum, zakat, dan hajji, semuanya diperintahkan secara beransur-ansur sebelum mencapai formatnya yang baku dan sempurna seperti yang dipahami kaum muslimin sekarang ini. Shalat, umpamanya, disyariatkan untuk pertama kalinya di Makah pada awal kenabian berupa berdiri di malam hari dengan membaca Al-Qur’an secara tartil, berdoa, ruku dan sujud, tanpa ada penjelasan rinci tatacaranya, jumlah rakaat, syarat dan rukunnya (Perhatikan awal surat Al-Muzammil). Setelah diperintahkan shalat fardu yang lima waktu sehari semalam, kemudian turun pedoman shalat secara rinci mengenai waktu-waktunya, tatacara bersuci sebelum menunaikannya, tuntunan berjamaah, syariat adzan dan iqamat sebelum shalat, shalat jum’at, shalat-shalat sunnah, shalat hari raya, shalat istisqa, shalat jenazah, dan rincian-rinciannya yang lain hingga sempurnalah syariat shalat seperti sekarang ini. Demikian halnya pentahapan pensyariatan shaum berkelanjutan dari priode Mekah yang hanya puasa sepuluh muharram saja hingga datangnya syariat shaum Ramadhan dan puasa-puasa sunat setelahnya. Hal serupa terjadi pada pentahapan syariat zakat dan shadaqah dan badah haji.
Dalam bidang hukum muamalah seperti perniagaan, sewa-menyewa, hutang-piutang sampai dengan masalah riba, kemudian hukum perkawinan, perceraian, ruju, iddah, warisan, penyusuan dan perawatan anak, hingga masalah adopsi. Kemudian masalah pembagian warisan, hukum-hukum hibah, waqaf, masalah washiyat, hingga masalah hukum pidana pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan minuman keras, semua itu diturunkan secara beransur-ansur mempertimbangkan kesiapan dan kemampuan umat untuk melaksanakannya.

Perkembangan Sumber Hukum Islam
Apakah yang berkembang secara bertahap itu penurunan syariat Islam saja ataukan melibatkan perkembangan aspek yang lainnya, seperti perkembangan pemikiran tentang sumber hukum Islam?
Pada masa Rasulullah, setiap masalah yang muncul di tengah-tengah umat dan memerlukan keputusan hukumnya maka mereka membawanya kepada Nabi untuk diberi keputusan oleh beliau. Dalam memutuskan perkara-perkara hukum, Rasulullah menempuh beberapa cara:
Pertama, Rasulullah memutuskan perkara  dengan menunggu turunnya wahyu dari Allah SWT. Seperti dalam kasus hukum wanita yang didhihar oleh suaminya kemudian suaminya ingin kembali lagi menggauli istrinya. Ketika wanita itu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum dhihartersebut maka Allah menurunkan wahyu kepada beliau sebagai jawabannya, (Perhatikan surat Al Mujadilah ayat 1-4). Demikian pula dengan kasus pengharaman khamar dan hukum li’an (suami yang menuduh istrinya berzina tanpa mampu mendatangkan empat saksi) semuanya diputuskan dengan turunnya wahyu.
Kedua, adakalanya Rasulullah memutuskan perkara dengan berijtihad berdasarkan pemahaman beliau terhadap wahyu yang telah turun kepada beliau. Dan cara kedua inilah yang dinilai paling banyak dilakukan beliau. Apabila ijihad beliau benar, maka Allah meneguhkannya dengan tidak memberinya teguran kepada beliau. Akan tetapi jika beliau keliru, beliau diperingatkannya melalaui wahyu. Seperti beliau ditegur Allah karena mengharamkan untuk meminum madu dan berjanji untuk menjauhi istrinya, Maria Al Qibtiyah, demi menyenangkan istrinya yang lain, Aisyah dan Hafshah (Perhatikan surat At Tahrim ayat 1-5). Kebanyakan ayat-ayat yang bernada teguran yang sangat halus kepada Nabi adalah dalam kasus ijtihad beliau terhadap satau permasalahan.
Ketiga, adakalanya beliau memutuskan perkara dengan cara meminta pendapat atau bermusyawarah dengan pemuka-pemuka shahabat. Seperti dalam kasus strategi peperangan, hukuman untuk tawanan perang, peristiwa fitnah terhadap Aisyah dan lain-lain. Adakalanya keputusan beliau sebagai hasil musyawarah dan mendengar pendapat shahabatnya ditegur oleh Allah melalui wahyunya karena dinilai tidak tepat. Seperti dalam kasus hukum bagi tawanan perang Badar (Perhatikan surat Al Anfal ayat 67-68).
Dengan gambaran singkat di atas, diambil point penting bahwa sumber penetapan hukum pada masa Nabi adalah dua, yaitu wahyu Al-Qur’an dan ijtihad Nabi. Tetapi karena pada masa beliau ijtihad itu dibimbing oleh wahyu, maka pada hakikatnya sumber hukum itu hanya satu yaitu wahyu itu sendiri. Ijtihad-ijtihad Rasulullah yang telah ditetapkan kebenarannya oleh wahyu dengan bukti tidak adanya teguran dari Allah, dikemudian hari ditetapkann sebagai Sunnah Nabi SAW.
Pada masa sepeninggal Nabi yang diawali oleh para Khalifahnya, penetapan sumber hukum mengacu kepada dua hal di atas, yaitu berpegang kepada wahyu Al-Qur’an dan kepada keputusan-keputusan Nabi yang mayoritasnya terpelihara dalam hapalan serta sedikit catatan para shahabat. Akan tetapi perkembangan situasi sosial masyarakat menyebabkan ada permasalah-permasalahn baru yang tidak terdapat ketetapn hukumnya secara langsung dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi. Menghadapi kasus-kasus baru ini, para shahabat mengambil cara dengan berijtihad baik secara individual ataupun dilakukan dengan kolektif melalui musyawarah. Seperti mengambil keputusan untuk memerangi kaum murtad pada masa Abu Bakar, penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakr juga masa Utsman bin Affan. Pada masa Umar bin Khathab terbilang paling banyak ijtihad-ijtihad baru yang tidak mendapat penegasan langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah. Keputusan-keputusan baru yang bersifat ijtihad kolektif dari para shahabat Nabi dikemudian hari ditetapkan sebagai rujukan hukum juga, yang dikenal dengan Ijma’. Ringkas kata, bahwa sumber penetapan hukum pada masa shahabat adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Jika mereka tidak mendapatkan pada keduanya ketetapan yang langsung, maka mereka melakukan ijtihad juga.
Setelah generasi shahabat berakhir, berpindah ke generasi Tabi’in, pemutusan perkara-perkara berdasar hukum agama mengacu kepada Al-Qur’an secara langsung pada kasus-kasus yang memang telah tersurat dalam Al-Qur’an. Kalau tidak ada pada Al-Qur’an, mereka mengacu kepada Sunnah Nabi. Jika pada Sunnah Nabi tidak ditemukan, mereka mulai beralih memperhatikan keputusan-keputusan para Shahabat Nabi. Namun keputusan para shahabat Nabi itu ditemukan dalam dua macam, keputusan hukum yang bersifat pendapat individu shahabat sehingga pendapat seorang shahabat adakalanya berbeda dengan pendapat shahabat yang lain. Adakalanya keputusan shahabat itu disetujui oleh shahabat yang lain sehingga dianggap sebagai konsensus atau kesepakatan, maka disebutlah ijma’. Jika sudah ada ijma’ generasi shahabat maka generasi tabi’in tidak lagi membuat ijtihad baru, melainkan berpegang kepada keputusan ijma’ para shahabat. Maka pada saat itu, sumber penetapan hukum dalam Islam bertambah menjadi tiga, yaitu Al-Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ shahabat.
Pada generasi berikutnya, muncul kembali permasalah-permasalahan baru yang membutuhkan kepastian hukum Islam. Maka para ahli hukum pada generasi atba’ tabi’in mulai juga memikirkan rujukan lain sebagai solusi atas kasus-kasus hukum yang baru. Penambahan Al-Qur’an tentu tidaklah mungkin sebab wahyutelah berakhir. Sunnah Nabipun sudah berhenti. Demikian juga ijma’ tidak mungkin lagi dilakukan sebab para ulama Islam sudah terlalu banyak dan berpencar diberbagai belahan benua. Jalan keluar dari itu semua adalah melalui penganalogian atau pembandingan kasus-kasus baru kepada kasus-kasus lama yang sudah terdapat pada Al-Qur’an, Sunnah, ataupun ijma’ shahabat. Dari sinilah mulai dirumuskan tentang teori analogi atau Qiyâs sebagai sumber rujukan penetapan hukum dalam Islam.
Paparan singkat di atas menunjukan bahwa pemikiran tentang sumber hukum memang mengalami perkembangan. Meski masih menyisakan perdebatan tentang pertanyaan, apakah ijma’ dan qiyas itu dapat disebut sebagai sumber hukum atau metode penggalian hukum? Dapat diringkaskan bahwa dari aspek prosesnya ijma’ dan qiyas sebagai metode penggalian hukum, sebab rujukan ijma’ dan qiyas juga tetap saja kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi dilihat dari segi keabsahannya dan kekuatanya dalam menetapkan hukum ketika dihasilkan dapat disebutkan sebagai sumber penetapan hukum. Hal yang sama terjadi ketiak kemudian muncul metode al ‘Urf, al ‘Adat, al Maslahat, dan lain lain sebagai cara penggalian hukum. Sering disebut sebagai metode juga adakalanya disebut sumber hukum. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.