Go Green !

Holligreenies

Wasiat Qur'an

“ Dan ingatlah akan nikmat Allah SWT kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah SWT mempersatukan hatimu, kemudian menjadikan kamu karena nikmat Allah SWT orang-orang yang bersaudara. ” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Wasiat Ulama

" Sebagaimana aku wasiatkan kalian untuk semangat dalam persatuan dan persaudaraan diantara kalian, dan saling menasehati diantara kalian dengan cara lemah lembut dan halus, dan menjauh dari sebab-sebab perselisihan, perpecahan, dan sebab yang menyebabkan kalian lalai dalam berdakwah dan mengalami kemunduran dalam berdakwah. Semua itu penyebabnya adalah perselisihan yang terjadi diantara kita. Jika muncul permusuhan atau perselisihan, hendaknya kedua belah pihak berusaha untuk menyelesaikannya dengan berbagai jalan dan usaha. " (Nasehat Syaikh Khalid Bin Dhahawi Azh-Zhafiri Hafizhahullah Ta’ala. Juli, 2011)

Qur'an Online

Listen to Quran

Rabu, 24 Agustus 2011

Mukjizat Rasulallah Seputar Obesitas.



Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطنه بحسب ابن آدم لقيمات يقمن صلبه فإن كان لابد فاعلا فثلث لطعامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه ) رواه الإمام أحمد والترمذي وغيرهما )

"Tidaklah seorang anak Adam (manusia) mengisi bejana (kantong) yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap yang bisa menegakkan tulang sulbinya. Jikalau memang harus berbuat, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya." (HR. Imam Ahmad, at-Tirmidzi danrahimahumullah
 selainnya)

Dan diriwayatkan:

المعدة بيت الداء

”Lambung adalah rumah penyakit.” (Riwayat ini menurut sebagian ulama bukanlah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan ucapan Al-harits bin Kaldah salah seorang thabib (dokter) dari Arab, sebagaimana disebukan dalam Maqashidul Hasanah dll)

Ilmu pengetahuan telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa obesitas (kegemukan) dari sisi kesehatan adalah bentuk ketidakseimbangan dalam metabolisme tubuh. Dan hal itu disebabkan oleh akumulasi (penumpukan) lemak atau gangguan endokrin (kelenjar dalam tubuh).. 

Dan genetika (garis keturunan) tidak memiliki peran besar dalam masalah obesitas sebagaimana yang telah diyakini beberapa kalangan. Dan penelitian-penelitian ilmiah telah menegaskan bahwa obesitas (kegemukan) memiliki dampak yangberbahaya pada tubuh manusia.

Salah satu perusahaan asuransi di Amerika telah menerbitkan data Statistik yang menyatakan bahwa semakin panjang garis ikat pinggang (sabuk) semakin pendek garis umurnya.
 Maka orang-orang yang lingkar perut mereka lebih panjang (lebih besar) daripada lingkar dada mereka, tingkat kematiannya lebih besar/tinggi.

Sebagaimana penelitian juga telah membuktikan bahwa penyakit diabetes (kencing manis/gula) lebih sering menimpa orang yang gemuk (obesitas) daripada orang normal.

Dan sebagaimana obesitas juga berpengaruh pada organ tubuh yang lain dan secara khusus terhadap jantung, di mana lemak menggantikan posisi beberapa sel otot jantung, yang secara langsung mempengaruhi kinerjanya.

Maka benarlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau memperingatkan kepada ummatnya tentang bahaya kegemukan dan makan berlebihan, beliau bersabda:

( المعدة بيت الداء)

”Lambung adalah rumah penyakit.”

Dan penelitian ilmiah tersebut memperingatkan untuk tidak menggunakan obat-obatan untuk menurunkan berat badan karena bahaya yang akan ditimbulkan olehnya.

Dan ia mengisyaratkan bahwa pengobatan yang paling tepatl untuk obesitas dan pencegahannya adalah dengan mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk tidak israf (berlebihan) ketika makan dan dengan cara mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika makan, sebagaimana yang dijelaskan oleh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang menjadi topik pembahasan kita.

Dan hadits tersebut datang dalam rangka penerapan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

) يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ( سورة الأعراف : 31


Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf: 31)

Dengan ini Islam telah mendahului ilmu pengetahuan modern semenjak lebih dari empatbelas abad, dalam masalah pentingnya keseimbangan dalam mengkonsumsi makanan, dan minuman. Dan Islam memperingatkan akan bahaya berlebih-lebihan dalam makan dan minum terhadap kesehatan manusia.

Perawatan organ sistem pencernaan

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

( أصل كل داء البردة ) البردة : التخمة : أخرجه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير

”Sumber segala penyakit adalah al-baradah.” Al-baradah: at-Tukhmah (Jeleknya pencernaan makanan) (diriwayatkan oleh Imam al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah dalam al-Jaami’ ash-Shaghiir)

Hadits ini merupakan tanda yang paling nampak dalam masalah pemeliharaan kesehatan sistem pencernaan. Yang selanjutnya melindungi seluruh tubuh dari keracunan diri yang disebabkan buruknya sistem pencernaan, penuhnya perut (lambung) dan pengisisaannya yang melebihi kapasitasnya berupa makanan berat.
Dan hal itu (keracunan) muncul juga pengisisan makanan yang keduan sebelum pencernaan makanan pertama. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya kesulitan pencernaan, dan fermentasi dalam lambung.

Kemudian peradangan menular yang akut menjadi kronis setelah sebelumnya ringan dan menyebabkan menetapnya bakteri penyakit endemis di usus yang ia mengirim racun ke dalam sistem peredaran darah. Yang seterusnya mempengaruhi sistem saraf, sistem pernafasan, saluran kemih dan ginjal dan organ vital dalam tubuh yang lainnya. Hal tersbut merupakan penyebab terjadinya gangguan fungsi dari organ-organ tersebut.

Dari sini, keajaiban medis ada pada sampainya kita pada akar penyebab segala penyakit, yaitu berlebihan (israf) dalam makanan yang menyebabkan buruknya sistem pencernaan yang hal itu akhirnya menyebabkan munculnya banyak penyakit sebagaimana diungkapkan oleh penelitian medis modern.

(Sumber:البدانة dari الإعجاز العلمي في الإسلام والسنة النبوية (Keajaiban Ilmiah dalam Islam dan Sunnah Nabi) oleh Muhammad Kamil ‘Abdushshamad dariwww.eajaz.com/agaz%20snaah/bdanh.htm, www.alsofwah.or.id


Selasa, 23 Agustus 2011

Ukhuwwah Islamiyyah.

Mahalnya Nilai Ukhuwwah Islamiyyah (Persaudaraan sesama muslim)

Sabtu, 09-Oktober-2010, Penulis: Buletin Islam Al-Ilmu

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“ dan yang mempersatukan hati-hati mereka (orang-orang yang beriman). 


Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati-hati mereka.


Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 63)

Ayat diatas mengingatkan kita kepada sebuah kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam . Yaitu kisah perseteruan antara suku Aus dan suku Khazraj di daerah Yatsrib (Madinah).

Perseteruan antara kedua suku tersebut telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya yang telah banyak memakan korban jiwa dan harta. Kemudian datanglah Islam, dan masuklah cahaya Islam ke dalam hati orang-orang Aus dan Khazraj.
Maka terwujudlah ikatan persaudaraan dan persatuan di bawah naungan panji Islam sekaligus menghapus semangat jahiliyah serta permusuhan diantara mereka.

Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahulloh menyatakan tentang ayat diatas: “ Maka mereka pun berkumpul dan bersatu serta bertambah kekuatan mereka dengan sebab bergabungnya mereka. Dan hal ini tidaklah terjadi karena usaha salah seorang diantara mereka dan tidak pula oleh suatu kekuatan selain kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Maka kalau seandainya kamu menginfakkan seluruh harta yang ada di muka bumi dari emas dan perak serta selain keduanya dalam rangka untuk menyatukan mereka yang bercerai-berai dan saling berselisih, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati mereka. Karena tidaklah ada yang mampu untuk menyatukan hati-hati (manusia) kecuali hanya Allah Subhanallahu wa Ta’ala semata. ” (Tafsir As-Sa’dy, hal.325)

Keutamaan Ukhuwwah

Ukhuwwah merupakan anugerah yang agung dan mahal dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan nikmat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya yang mukmin, sebagaimana dalam firman-Nya :

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (pada masa Jahiliyah) saling bermusuhan, maka Allah  mempersatukan hati-hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya.” (Ali Imran: 103)

Sebagian ulama ahli tafsir berkata tentang firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala dalam ayat tersebut: 


“Di dalamnya terdapat isyarat bahwa tumbuhnya ukhuwwah dan mahabbah (kecintaan) antara kaum mukminin adalah semata-mata karena keutamaan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

Dan disabdakan pula oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits :

“Sesungguhnya Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan berkata nanti pada hari kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang menjalin persaudaraan karena-Ku, maka pada hari ini Aku akan menaunginya pada hari dimana tidak ada sebuah naungan kecuali hanya naungan-Ku’.” (HR. Muslim)

Hak-hak di dalam Ukhuwwah

Setelah kita mengetahui betapa agung dan mahalnya nilai sebuah ukhuwwah, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin agar anugerah dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala tersebut tetap terjaga dan terpelihara pada diri kita.

Diantara usaha yang harus ditempuh agar ukhuwwah tersebut tetap terjaga pada diri kita, maka kita perlu memperhatikan hak-hak dalam ukhuwwah. Hak-hak tersebut adalah:

1. Hendaklah ia mencintai saudaranya semata-mata karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi.

Hendaklah kita mengikhlaskan niat di dalam ukhuwwah, kita mencintai saudara kita karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi.

Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala, maka kecintaan tersebut akan tetap lestari. Jika ia melakukannya karena tujuan duniawi, maka lambat laun kecintaan tersebut akan pupus di tengah jalan.

Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih tentang 3 hal yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya keimanan. Salah satu diantaranya adalah:

“…Dan yang ia mencintai saudaranya, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala…” (Muttafaqun ‘alaihi)

2. Lebih mendahulukan untuk membantu saudaranya dengan apa yang mampu dari jiwa dan harta daripada dirinya sendiri.

Tidak diragukan lagi bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, masing-masing individu memiliki strata sosial yang berbeda-beda. Antara yang satu dengan yang lainnya saling membantu. Yang kaya membantu yang miskin dan yang miskin membantu yang kaya. Yang memiliki kedudukan akan membantu orang yang tidak memiliki kedudukan, dan sebagainya.

Semua ini adalah sebuah ketetapan Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Jika memang demikian keadaannya, maka diantara hak dalam ukhuwwah sesama muslim adalah membantu saudaranya dengan mencurahkan apa yang ia mampu dari potensi yang ada pada dirinya atau harta yang dimilikinya.

Hakikat dari persaudaraan adalah lebih mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya sendiri (Al-Itsar).

Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memuji sifat orang-orang Anshar yang lebih mengutamakan kebutuhan orang-orang Muhajirin padahal mereka sendiri sangat membutuhkan, sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9)

Sifat “Al-Itsar” termasuk dari hak ukhuwwah yang hukumnya mustahab (sunnah). 

Jika seseorang bisa meraih sifat tersebut, maka sungguh hal itu merupakan kebaikan baginya. Namun bila tidak bisa meraihnya, maka paling tidak ia berusaha untuk membantu saudaranya dengan jiwa dan hartanya. Sebagian ulama telah mengatakan:

“Sesungguhnya termasuk dari adab dalam membantu saudaranya adalah hendaklah ia tidak menunggu sampai saudaranya meminta bantuan sesuatu kepadanya, namun hendaklah ia yang memulai untuk mencari apa yang dibutuhkan saudaranya yang dicintainya karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

Diceritakan pada zaman dahulu bahwa sebagian ulama mencari informasi tentang sesuatu yang dibutuhkan oleh saudaranya tanpa saudaranya tersebut mengetahuinya. Kemudian setelah itu, ia memasukkan harta ke dalam rumah saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya.

Sebagaimana kisah Ar-Rabi’ bin Khutsaim rahimahulloh. Suatu ketika, ia memerintahkan keluarganya untuk membuatkan makanan yang terbaik dari makanan yang ada. Maka dibuatlah makanan tersebut.

Kemudian setelah itu pergilah Ar-Rabi’ rahimahulloh dengan membawa makanan tersebut ke rumah seorang laki-laki mukmin yang buta, bisu dan tuli. Maka diberikanlah makanan tersebut dan segera disantap sampai kenyang. Padahal laki-laki tersebut tidak pernah mengeluhkan kebutuhannya kepada Ar-Rabi’ rahimahulloh. Demikianlah akhlak para ulama salaf.

3. Menjaga kehormatan dan harga diri saudaranya.

Ini termasuk dari inti dan hak yang agung dalam ukhuwwah. Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada umatnya untuk menjaga kehormatan sesama muslim. 

Disebutkan dalam sebuah riwayat dari shahabat Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbahnya di hari ‘Arafah pada saat haji Wada’:

“Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian serta kehormatan-kehormatan kalian haram atas kalian….” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Kehormatan seorang muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram secara umum. Realisasi dalam hal ini ialah seperti:

i.  Tidak menyebutkan ‘aib saudaranya, baik ketika ia hadir dihadapannya maupun ketika tidak ada.

ii.  Tidak mencampuri urusan pribadinya.

iii. Menjaga rahasianya.

4. Menjauhi prasangka buruk terhadap saudaranya.

Hukum asal seorang muslim adalah taat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bersifat jujur, dan baik. Maka kita harus berbaik sangka kepada saudara kita, dan harus menjauhi prasangka buruk, karena dengan berprasangka buruk, kita bisa jatuh kedalam perbuatan dosa. Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan tersebut dalam firman-Nya (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Hati-hatilah kalian dari prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta ucapan.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu berkata: “Janganlah kalian berprasangka buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari saudaramu, sementara memungkinkan bagimu untuk membawa kalimat tersebut ke arah kebaikan.” (Riwayat Ahmad, Az-Zuhd)

Abdullah bin Al-Mubarak rahimahulloh berkata: “Bagi seorang mukmin, diberikan kepadanya berbagai kemungkinan alasan yang dapat dimaafkan.”

Maka jangan sampai kita membuka peluang bagi setan untuk masuk kemudian menghembuskan sesuatu yang buruk kepada diri kita, sampai akhirnya berhasil memecah belah persaudaraan sesama muslim.

5. Menjauhi perdebatan dengan saudaranya.

Sesungguhnya perdebatan akan menghilangkan sifat mahabbah (saling mencintai) dan persahabatan. Dan akan mewariskan kemarahan, dendam dan pemutusan ukhuwwah.

Maka meninggalkan sikap perdebatan merupakan tindakan yang terpuji. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di pihak yang salah, maka akan dibangunkan sebuah rumah baginya di surga paling bawah. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada pada pihak yang benar, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di tengah surga…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Diantara sebab yang mendorong seseorang untuk melakukan perdebatan adalah dalam rangka memperoleh kemenangan, agar ia dikatakan sebagai seorang yang pintar dan paling benar pendapatnya, dan kurangnya penjagaan terhadap tergelincirnya lisan pada dirinya. Kesemuanya itu merupakan sikap yang tidak terpuji.

6. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik kepada saudaranya.

Realisasi dalam hal ini ialah seperti:

1. Mengatakan kepada saudaranya: “Aku mencintaimu karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

2. Memuji saudaranya ketika tidak ada di hadapannya.

3. Mengucapkan terima kasih atas kebaikan saudaranya tersebut.

7. Memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh saudaranya.

Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :

“Setiap keturunan Adam (manusia) pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah no. 4251)

8. Merasa gembira dengan kenikmatan yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala berikan kepada saudaranya.

Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan dan kelebihan yang berbeda pada masing-masing orang. Baik dalam hal kepemilikan harta, keilmuan, banyak melakukan amalan-amalan ibadah, kebaikan akhlaknya dan lain sebagainya.

Kita patut merasa gembira dengan nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang diberikan kepada saudara kita baik dari sisi harta, ilmu, semangat dalam beribadah, dan lain-lain. 

Kita harus menghilangkan sifat hasad (iri, dengki) terhadap keutamaan yang diberikan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada saudara kita.

9. Saling membantu dengan saudaranya dalam perkara-perkara kebaikan.

Sungguh Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memerintahkan yang demikian dalam firman-Nya (artinya):

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)

10. Bermusyawarah dan bersikap lemah lembut terhadap saudaranya.

Janganlah salah seorang diantara mereka bersendirian dalam memutuskan suatu perkara, namun hendaklah saling bermusyawarah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya (artinya):

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Asy-Syuura: 38)

Maka kita memohon kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala agar menjadikan kita semua termasuk dari orang-orang yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta menjadikan persaudaraan kita  semata-mata karena mengharap ridho-Nya.
Dan semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita, karena sesungguhnya tidak ada daya dan upaya pada diri kita, kecuali kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Ämïn yä Rabbal ‘Älamïn.

Wallähu Ta’älä A’lamu bish Shawäb.

http://www.buletin-alilmu.com/?p=482


Minggu, 21 Agustus 2011

Penetapan Iedul Fitri 1432 H Menurut Salafus Shalih.


Fatwa Ulama Islam tentang Penentuan Awal Romadhon & Ied

Kamis, 28-Agustus-2008, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon. Karenanya, kita akan menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak, dan terpecah dalam urusan ibadah mereka.  

Ada yang berpuasa –misalnya- tanggal 12 September karena mengikuti negeri lain; ada yang puasa tanggal 13 karena mengikuti pemerintah; ada yang berpuasa tanggal 14, karena mengikuti negeri yang lain lagi, sehingga terkadang muncul beberapa versi. Semua ini timbul karena jahilnya kaum muslimin tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada ahli ilmu. 


Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita, karena merekalah yang lebih paham agama.

Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul "Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah", (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)

Soal , " Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal bulan) dengan mata kepala.

Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari setelah (masuknya) hari raya…"

Al-Lajnah Ad-Da’imah men jawab , "Wajib mereka berpuasa bersama kaum manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

صُوْمُوْا لِِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ 

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)".Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)] 

Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

"(Waktu)Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka berkurban".[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu Majah (1660). Lihat Ash-Shohihah (224)] 
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313) 

Soal , "Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat hilal.

Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami ada yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran radio, namun jumlah mereka sedikit.diantara kami; Ada yang menunggu sampai la melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah-Subhanahu wa Ta’la-, 

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ


"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"; sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam-

صُوْمُوْا لِِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya". 
dan sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

"Bagi setiap daerah ada ru’yahnya". sungguh telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal tersebut.

Al-Lajnah Ad-Da’imah men jawab , "Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian.

Jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan menghilangkan adanya perselisihan didalam masalah seperti ini. Atas dasar ini, pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan.

Adapun kalimat yang berbunyi, "bagi setiap tempat memiliki ru’yah", ini bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat munculnya) hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.

Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta–Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313) 

Soal : Diantara perkara yang tak mungkin untuk melihat hilal dengan mata telanjang sebelum umurnya mencapai 30 jam. Setelah itu, tidak mungkin melihatnya, karena kondisi cuaca.

Dengan memandang kondisi seperti ini, apakah mungkin bagi penduduk Inggris untuk menggunakan ilmu falak bagi negeri ini dalam menghitung waktu yang memungkinkan untuk melihat bulan baru (hilal), dan waktu masuknya bulan Romadhon, ataukah wajib bagi kami melihat bulan baru (hilal) sebelum kami memulai puasa Ramadhan yang penuh berkah ?

Jawab , "Boleh menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepadailmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- tidak men-syari’at-kan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa; Demikian pula melihat hilal Syawwal untuk berbuka dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri. Allah–Subhanahu wa Ta’la- telah menjadikan bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.

Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menenntukan waktu ibadah dengan cara apapun, selain dengan melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan, hari ‘ied, ibadah haji, puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah zhihar, dan lain sebagainya.

Allah -Ta’ala-’ berfirman, 

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". [(QS. Al-Baqoroh: 185)]

يَسْأََلُوْنَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ 

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji".[(QS. Al-Baqoroh: 189)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, 

صُوْمُوْا لِِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ 

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban) 30 hari”.

Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal.

Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang perbedaan tempat atau tidak".

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 388)

 Soal , "Bagaimana pandangan Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah". 

Jawab , "Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya.

Jika penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka".

Fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah- 

Syaikh Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal. 398-399),

"Sampai nanti negeri-negeri Islam bisa bersatu di atas hal itu (puasa & hari raya, ed), maka sesungguhnya sekarang aku memandang wajib bagi rakyat di setiap negara untuk berpuasa bersama negara (pemerintah)nya; tidak berpuasa sendiri-sendiri.

Akhirnya, sebagian rakyat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain"; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta’an".

Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Di lain sisi, ia merupakan jalan Ahlus Sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah. [AF & MI] 

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 30 Tahun I.

Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=170#more-170




Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dan Hukum-Hukumnya
Jum'at, 18-September-2009, Penulis: Abu ‘Amr Ahmad

‘Id atau Hari Raya dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.

Tidak ada hari raya lain dalam Islam selain ketiga hari tersebut. Maka jika ada hari lain yang diklaim sebagai hari raya, maka bukanlah Hari Raya yang diakui oleh syari’at

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penentuan Hari Raya merupakan wewenang syari’at, tidak bisa ditetapkan kecuali oleh syari’at.

Dinamakan ‘Id yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah bergembira pada dua hari yang mereka jadikan sebagai Hari Raya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

قد أبدلكم الله بهما بخير منهما يوم الأضحى ويوم الفطر

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari raya yang lebih baik dari dua hari raya kalian, yaitu Hari ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.” HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i dengan sanad shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2021.

Ini di antara yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin ada hari raya dalam Islam kecuali ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.

Pada hari tersebut Allah berikan kepada kaum muslimin kenikmatan berupa syi’ar-syi’ar ibadah dan anugrah kebaikan dan kebahagiaan yang mereka tampakkan pada dua hari tersebut. Di antaranya nikmat kembali boleh makan, minum, dan jima’ setelah sebelumnya dilarang selama sebulan penuh, keluasaan merayakan hari tersebut dengan hal-hal yang mubah dan kesenangan yang diperbolehkan. Di antaranya juga kenikmatan merayakan hari tersebut dengan lantunan takbir, tahlil, dan tahmid, kemudian shalat, serta menyempurnakan pelaksanaan manasik haji di negeri yang suci, dan bertaqarrub kepada-Nya dengan menumpahkan darah hewan qurban.

● Hukum Shalat ‘Id

Di antara syi’ar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha adalah pelaksanaan shalat ‘id, yang dilakukan di tempat lapang dan terbuka, yang dihadiri oleh kaum muslimin. Para ‘ulama sepakat bahwa Shalat ‘Id masyru’. Namun para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah sunnah, fardhu kifayah, ataukah fardhu ‘ain.

1. Pendapat Pertama : Sunnah Mu`akkad.

Dalilnya adalah :

a. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang arab badui yang bertanya tentang hal-hal yang wajib dalam agama, maka jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خمس صلوات كتبهن الله على عباده

Shalat lima waktu yang telah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya.

Kemudian si arab badui tersebut bertanya lagi, “Apakah ada lagi kewajiban lain atasku ?”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak.

b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala beliau memberikan pengarahkan kepada Mu’adz yang hendak beliau utus ke Yaman sebagai da’i. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Mu’adz kewajiban-kewajiban yang harus disampaikan kepada ahlul kitab Yaman, di antaranya :

فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في يوم وليلة

“Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu (yakni mau memenuhi ajakan kepada tauhid/syahadatain) maka berikutnya ajarkan kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari dan semalam.”

Sisi pendalilan : pada hadits di atas, dengan tegas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa yang wajib adalah shalat lima waktu saja. Berarti semua shalat selain shalat lima waktu maka hukumnya adalah sunnah atau tidak wajib.

Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ‘id, maka tingkat sunnah di sini adalah sunnah mu`akkad.

Namun pendalilan di atas kurang tepat. Karena jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kewajiban shalat yang bersifat harian. Karena tidak diragukan ada shalat-shalat lain yang hukumnya wajib di luar shalat lima waktu. Misalnya shalat Jum’at, Shalat Kusuf (Gerhana), dan Shalat Tahiyyatul Masjid.

2. Pendapat Kedua : Fardhu / Wajib.

Berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua kaum muslimin, baik pria maupun wanita, bahkan wanita yang padanya ada halangan sekalipun.

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata :

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi shalat. Hendaknya mereka semua menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.

Maka aku (Ummu ‘Athiyyah) berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab ?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi

Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita untuk keluar, sampai wanita yang sedang haidh pun beliau perintah untuk turut serta juga, bahkan yang tidak punya jilbab beliau perintah untuk dipinjami agar ia bisa turut serta juga, kecuali karena untuk perintah yang bersifat fardhu ‘ain.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

“Perintah tersebut menunjukkan kewajiban. Jika keluar (menuju mushalla ‘id) adalah wajib, maka tentu shalat lebih wajib lagi, sebagaimana itu sudah sangat jelas.

Maka yang benar adalah wajibnya (shalat ‘id) bukan sekedar sunnah. Dan di antara dalil yang menunjukkan wajib adalah bahwa shalat ‘Id bisa menggugurkan shalat Jum’at apabila jatuh pada hari yang sama. … ” (Tamamul Minnah)

● Fardhu ‘Ain ataukah Fardhu Kifayah ?

Sebagian ‘ulama berpendapat hukum fardhu di sini adalah fardhu kifayah.

Sebagian lagi berpendapat Fardhu ‘Ain. Pendapat ini lebih kuat, karena perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita, seandainya fardhu kifayah, maka cukup kaum pria yang diperintah untuk mengerjakan. Tapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita, bahkan yang tidak punya jilbab diperintahkan untuk dipinjami. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Perhatian :

1. Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah, bahwa keluarnya kaum wanita untuk shalat ‘Id adalah harus tetap memperhatikan ketentuan syari’at, yaitu harus mengenakan hijab syar’i, tidak berhias, menghindari ikhtilath (campur baur antara kaum pria dan kaum wanita), dll.

2. Wanita haidh harus menjauhi tempat shalat.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata :

“Shalat ‘Id hukumnya fardhu kifayah menurut kebanyakan ‘ulama, boleh untuk tidak mengerjakannya bagi sebagian orang. Namun hadir dan turut serta (shalat ‘Id) bersama saudara-saudaranya kaum muslimin merupakan sunnah yang ditekankan yang tidak sepantasnya ditinggalkan kecuali karena adanya ‘udzur (alasan) syar’i.

Sementara itu, sebagian ‘ulama lainnya berpendapat bahwa Shalat ‘Id hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana Shalat Jum’at. Tidak boleh bagi seorang mukallaf pun dari kalangan pria merdeka penduduk setempat untuk tidak mengerjakannya. Pendapat ini lebih kuat dalilnya dan lebih dekat kepada kebenaran. Dan disunnahkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘id juga, namun dengan tetap memperhatikan hijab, menutup aurat, dan tidak mengenakan wewangian.

Hal berdasarkan hadits yang sah dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Kami diperintah (oleh Nabi) mengajak keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Agar mereka juga bisa turut menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi tempat shalat.

Pada sebagian riwayat :

Salah seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab ?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi

Tidak diragukan, bahwa hadits ini menunjukkan ditekankannya bagi kaum wanita untuk turut hadir dalam shalat ‘Id agar mereka juga bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/7-8).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Shalat ‘Id merupakan sunnah  yang wajib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan kaum wanita untuk hadir pula dalam shalat ‘Id. Namun tidak boleh bagi wanita untuk mendatangi tempat shalat ‘id dalam keadaan berdandan, atau memakai wewangian, atau berhias, atau terbuka wajahnya. Karena itu semua haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Wanita manapun yang memakai bukhur (salah satu jenis wewangian) maka jangan hadir shalat ‘Isya’ bersama kami (di masjid).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yang memaki bukhur, maka bagaimana dengan wanita yang memakai wewangian paling wangi, lalu datang ke masjid?
Maka dia berdosa, sejak ia keluar rumah sampai ia kembali lagi ke rumah.

Maka wajib atas kaum wanita untuk keluar (untuk shalat ‘Id) dengan penampilan yang diizinkan oleh syari’at. Yaitu keluar tidak dengan berhias, tidak memakai wewangian, tidak pula bersolek.
Berjalan dengan sopan, tidak berbicara dengan pria. Karena itu termasuk fitnah.

Kaum wanita hadir shalat ‘id hanyalah dalam rangka barakah dari berkumpulnya kaum muslimin dalam menjalankan ketaatan dan peribadatan kepada Allah, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/165)

● Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dilaksanakan di Mushalla, yaitu tempat terbuka dan lapang di pinggir kota, desa, atau perkampungan.

Berdasarkan hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu :

كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha menuju mushalla. Muttafaqun ‘alaihi

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ‘ulama, bahwa shalat ‘Id dikerjakan di mushalla, kecuali jika ada ‘udzur seperti hujan atau lainnya, maka ketika itu dikerjakan di masjid.

Adapun ‘ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa Shalat ‘Id lebih utama dikerjakan di masjid jika masjidnya memang luas. Karena masjid merupakan tempat yang paling mulia dan paling bersih dari pada tempat-tempat lainnya.
Namun jika masjidnya sempit maka ketika itu baru dikerjakan di mushalla.

Namun pendapat Jumhur ‘ulama lebih tepat. Karena itulah yang sesuai dengan sunnah dan cara pelaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan permasalahan ini secara panjang lebar, diiring dengan argumentasi-argumentasi ilmiah nan kokoh dalam risalah beliau berjudul Shalatul ‘Idain fil Mushalla hiyas Sunnah (Shalat Dua Hari Raya di Mushalla itulah Sunnah).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya :

Apa hukum shalat ‘Id di masjid?

Maka beliau rahimahullah menjawab :

“Tuntunan Sunnah dalam pelaksanaan Shalat ‘id adalah dilaksanakan di tempat terbuka dan lapang. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu keluar untuk Shalat ‘Id ke tempat terbuka dan lapang, padahal beliau sendiri yang telah memberitakan tentang nilai shalat di Masjid Nabawi “lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain.”

Meskipun demikian beliau meninggalkan shalat ‘Id di Masjid Nabawi, dan beliau memilih keluar menuju mushalla, mengerjakan shalat ‘Id di situ.

Atas dasar ini, maka sunnah adalah kaum muslimin keluar menuju tanah terbuka dan lapang dalam melaksanakan shalat ‘Id, yang merupakan salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam.

Namun berbeda dengan di dua tanah haram (Makkah dan Madinah) sejak dulu. Shalat ‘Id dilaksanakan di Masjidil Haram (Makkah), dan juga di Masjid Nabawi. Demikianlah praktek kaum muslimin sejak masa lalu.”

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga ditanya :

Apakah Shalat ‘Id di tanah lapang terbuka afdhal (lebih utama) walaupun di Makkah dan Madinah? Ataukah Al-Haram (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) lebih utama?

Beliau rahimahullah menjawab :

“Shalat ‘Id di mushallah lebih utama. Namun di Makkah sudah berlangsung praktek sejak dahulu bahwa kaum muslimin shalat ‘Id di Masjdil Haram. Demikian juga di Madinah kaum muslimin sejak dahulu shalat ‘Id di Masjid Nabawi.

Untuk Madinah, tidak diragukan shalat ‘Id di mushalla lebih utama, sebagaimana praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khalafa`ur Rasyidini radhiyallahu ‘anhum. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan Shalat ‘Id di mushalla.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/142)

Hukum-Hukum dan Adab-adab terkait Hari Raya

1. Mengenakan Pakaian yang Bagus.

Dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

كان يلبس يوم العيد بردة حمراء


Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id mengenakan burdah merah. HR. Ath-Thabarani. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 1279.

Perhatian :

a. Mengenakan Pakaian Bagus ini berlaku hanya bagi pria. Adapun kaum wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian yang indah ketika berangkat ke mushalla. 

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita yang keluar ke masjid, “namun hendaknya mereka keluar dengan tidak mengenakan wewangian.” HR. Abu Dawud, yakni dengan mengenakan pakaian biasa, bukan  pakaian berdandan atau bersolek. Haram bagi kaum wanita keluar dalam keadaan memakai wewangian dan berdandan.

b. Pakaian bagus di sini bukan berarti baju yang baru, apalagi baju mewah yang mahal.

2. Mandi.

Sebagian ‘ulama berpendapat disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ‘Id. Hal ini diriwayatkan dari sebagian Salaf.

3. Makan terlebih dahulu Sebelum Berangkat menuju Shalat ‘Idul Fithri.

Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لَا يَغْدُو يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada Hari ‘Idul Fithri (menuju shalat ‘id) sebelum beliau memakan beberapa kurma terlebih dahulu. HR. Al-Bukhari

Dalam riwayata lain dengan tambahan keterangan : Memakan kurma dalam jumlah ganjil. HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Bukhari secara mu’allaq.

4. Adapun Pada ‘Idul Adh-ha Mengakhirkan Makan, dan Baru Makan setelah Kembali.

كَانَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - لَا يَخْرُجُ يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ, وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ اَلْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّي

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau mengerjakan shalat. HR. At-Tirmidz.

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع .

… dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau kembali (dari shalat ‘Id)HR. Ibnu Majah

Kedua hadits di atas dari shahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

5. Menuju ke Mushalla Shalat ‘Id dengan melewati Jalan yang Berbeda antara berangkat dan pulangnya.

Dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma :

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila Hari Raya, beliau menempuh jalan yang berbeda.
Muttafaqun ‘alaihi

Dari shahabat Abu Hurairah :

كان النبي صلى الله عليه وسلم  إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar menuju shalat ‘Id, beliau pulang melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat. HR. Ahmad, At-Tirmidz, Ibnu Majah.

6. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id

Waktu Shalat ‘Id adalah seperti waktu Shalat Dhuha, yaitu sejak Matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya Matahari. Dalilnya :

Pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa`ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum tidaklah mengerjakan shalat ‘id kecuali setelah Matahari setinggi tombak.

Kedua : Bahwa sebelum itu (yakni mulai selesai shubuh, sampai matahari terbit namun masih belum setinggi tombak) adalah waktu terlarang untuk shalat.

(lihat Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin)

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab Sunan-nya meletakkan bab berjudul : “Waktu Berangkat untuk Shalat ‘Id“. Kemudian beliau menyebutkan atsar dari salah seorang Shahabat Nabi bernama ‘Abdul bin Bisr radhiyallahu ‘anhu :

خرج عبد الله بن بسر صاحب النبي صلى الله عليه وسلم مع الناس في يوم عيد فطر أو أضحى فأنكر إبطاء الإمام وقال : إنا كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم قد فرغنا ساعتنا هذه وذلك حين التسبيح

‘Abdullah bin  Bisr salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama kaum muslimin pada hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adh-ha. Maka beliau mengingkari keterlambatan imam. 

Beliau berkata : “Dulu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada waktu seperti ini sudah selesai shalat.” Saat ini adalah sudah masuk waktu shalat Dhuha. HR. Abu Dawud. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil III/101.

Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata ketika menjelaskan riwayat di atas :

Abu Dawud menyebutkan bab : “Waktu Berangkat Untuk Shalat ‘Id”, yakni berangkat pada awal siang. Khathib tiba apabila Matahari sudah tinggi. Waktu boleh untuk shalat datang setelah waktu terlarang untuk shalat, yaitu ketika Matahari sudah setinggi tombak. 

Terdapat satu hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri.

Shalat ‘Idul Fithri jika engkau akhirkan sedikit dari masuknya waktu, maka akan memberikan kesempatan lebih luas untuk pembagian Zakat Fitri. Adapun Shalat ‘Idul Adh-ha jika disegerakan, maka memberikan kesempatan lebih luas untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.

Yang jelas, waktu Shalat ‘Id dimulai sejak Matahari setinggi tombak, sebagaimana hadits shahabat ‘Abdullah bin Bisr …. .” 

(Syarh Sunan Abi Dawud - Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Waktu Shalat ‘Id dimulai semenjak Matahari setinggi tombak dan berakhir ketika zawal (Matahari mulai tergelincir). Namun disunnahkan untuk menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri. 

Berdasarkan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dulu melaksanakan shalat ‘Idul Adh-ha ketika Matahari setinggi tombak, dan melaksanakan Shalat ‘Idul Fithri ketika Matahari setinggi dua tombak.

Karena umat ketika ‘Idul Fithri butuh waktu yang longgar untuk memberikan kesempatan membagikan Zakat Fitri. Adapun pada ‘Idul Adh-ha yang dituntunkan untuk bersegera menyembelih hewan qurban, dan ini tidak bisa terwujud kecuali jika shalat disegerakan pada awal waktu.”

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/141)

7. Apakah ada Adzan dan Iqamah ?

Dari ‘Atha rahimahullah dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhum, berkata : “Tidak pernah ada adzan pada hari ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adh-ha.”

Kemudian aku (‘Atha`) bertanya kepadanya setelah beberapa waktu, maka Ibnu ‘Abbas berkata, Jabir bin ‘Abdillah memberitakan bahwa tidak ada adzan untuk shalat ‘Idul Fithri ketika keluarnya imam atau pun setelahnya, tidak ada pula iqamah, tidak ada seruan, dan tidak ada sesuatupun. Tidak ada adzan pada hari itu, dan tidak ada pula iqamah.” Muttafaqun ‘alaihi.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Saya shalat dua hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali atau dua kali, semuanya tanpa adzan dan tanpa iqamah.” HR. Muslim

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (Fatwa no. 1002)

Pertanyaan :

Bagaimana dengan penggunaan mikrophon sebelum shalat ‘idul Fithri dan Shalat ‘idul Adh-ha, untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id dan memahamkan mereka bahwa shalat ‘id adalah shalat yang wajib?

Jawab :

Termasuk bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak melakukan seruan apapun untuk shalat ‘idul fithri maupun shalat ‘idul ‘Adh-ha, baik untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id maupun memahamkan mereka tentang hukum shalat ‘id. Tidak boleh melakukan itu, baik dengan mikrophon atau pun yang lainnya. Karena waktu pelaksanaan shalat ‘id sudah diketahui, walhamdulillah. Allah Ta’ala telah berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ

Sungguh telah ada untuk kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi barangsiapa yang mengharap ridha Allah dan Hari Akhir. (Al-Ahzab : 21)

Dan semestinya bagi Waliyyul Amr, baik pemerintah maupun ‘ulama, untuk menjelaskan hukum shalat ‘id ini sebelum tiba Hari ‘Id, serta menjelaskan kepada mereka tata caranya, apa yang semestinya dilakukan padanya, baik sebelum maupun setelahnya, sehingga kaum muslimin bersemangat datang ke mushalla ketika pelaksanaan shalat ‘id dan menunaikannya sesuai dengan ketentuan syari’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan
Anggota : ‘Abdullah bin Mani’

8. Tata Cara Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dua rakaat. Setelah Takbiratul Ihram sebelum membaca Al-Fatihah, takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan takbir sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

التكبير في الفطر سبع في الأولى، وخمس في الآخرة، والقراءة بعدهما كلتيهما

Takbir pada Shalat ‘Idul Fithri tujuh kali pada rakaat pertama, lima kali pada rakaat kedua. Dan qiraah dilakukan setelahnya pada dua rakaat tersebut.” HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Al-Irwa` III/108.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, pada rakaat pertama sebanyak 7 kali takbir, dan para rakaat kedua 5 kali takbir.”

Takbir ini hukumnya sunnah. Jika ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, tidak membatalkan shalat. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perselihan dalam masalah ini.“

Asy-Syaukani rahimahullah merajihkan bahwa jika lupa tidak perlu sujud sahwi.

Apa yang dibaca antara takbir-takbir tersebut?

Dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ta’anhu tentang shalat ‘Id : “Antara tiap dua takbir (membaca) pujian untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan sanjungan terhadap Allah.”

Apakah Mengangkat Tangan ketika Takbir?

Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Tidak mengangkat tangan pada tiap-tiap takbir, kecuali pada takbir yang mengangkat tangan pada shalat-shalat lainnya.” (Al-Muhalla - masalah 543)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :
“Yang benar dikatakan padanya, tidak disunnahkan mengangkat tangan, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Adapun diriwayatkan (mengangkat tangan) dari shahabat ‘Umar dan anaknya (‘Abdullah bin ‘Umar), tidak menjadikan hukumnya sunnah.” (Tamamul Minnah)
Namun keterangan di atas berbeda dengan keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Pada fatwa no. 10.557 Al-Lajnah Ad-Da`imah menegaskan bahwa “Mengangkat kedua tangan pada tiap takbir.” (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Yang benar, mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir, demikian juga pada takbir shalat jenazah. Karena ini diriwayatkan dari shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan tidak ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat yang menyelisihinya.

Amalan seperti ini tidak ada kesempatan bagi ijtihad, karena itu gerakan dalam ibadah, tidaklah seorang shahabat berpegang pada satu pendapat, kecuali ada asalnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Telah shahih riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah.” Bahwa diriwayatkan secara marfu’, di antara ‘ulama ada yang menshahihkan riwayat yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada pula riwayat dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu : “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah dan shalat ‘Id.

Demikian juga terdapat riwayat dari Zaid. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Atsram.”
(Asy-Syarhul Mumti’)

Surat yang dibaca dalam Shalat ‘Id

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata : “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat ‘id dan shalat Jum’at membaca surat “Sabbihisma Rabbikal a’la” (yakni surat Al-A’la) dan surat “Hal Atakah Haditsul Ghasyiyah” (yakni surat Al-Ghasyiyyah). 

Apabila Hari ‘Id dan hari Jum’at bertemu pada satu hari yang sama, maka beliau pun membaca dua surat tersebut pada kedua shalat (yakni shalat ‘Id dan Shalat Jum’at). HR. Muslim

Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu : ‘Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadaku tentang surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id? Maka aku jawab : “Beliau membaca surat “Iqtarabatis Sa’ah” (yakni surat Al-Qamar) dan surat “Qaf. Wal Qur`anil Majid” (yakni surat Qaf).” HR. Muslim

9. Tidak Ada Shalat Apapun Sebelum dan Sesudahnya

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين، لم يصل قبلها ولا بعدها، ومعه بلال

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada hari ‘Idul Fithri, maka beliau mengerjakan Shalat (‘Id) dua rakaat, beliau tidak shalat apapun sebelum atau pun sesudahnya, dan bersama beliau shahabat Bilal. Muttafaqun ‘alaihi

10. Khuthbah ‘Id setelah Shalat

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata :

شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة

Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersama Khalifah Abu Bakr, Khalifah ‘Umar, dan Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum, mereka semua mengerjakan shalat terlebih dahulu sebelum khuthbah. Muttafaqun ‘alaihi

Dari ‘Abdullah bin Sa`ib radhiyallahu ‘anhu :

شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، فلما قضى الصلاة قال : إنا نخطب؛ فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب

Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda : “Kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk (mendengar khuthbah), maka silakan duduk, namun barangsiapa yang ingin pergi, boleh untuk pergi. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah.

11. Apakah Khuthbah ‘Id dibuka dengan Takbir?

Hukum asalnya adalah seorang khathib memulai khuthbah dengan Khutbatul Hajah. Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membuka Khuthbah ‘Id dengan takbir.

12. Qadha Shalat ‘Id

Dari Abu ‘Umair bin Anas bin Malik berkata, salah seorang pamanku dari Anshar dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepadaku, mereka berkata, “bahwa hilal Syawwal terhalangi dari kami. Maka keesokan harinya kami pun masih berpuasa.

Pada akhir siang datanglah rombangan para pengendara, maka mereka bersaksi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para shahabat) untuk membatalkan puasanya, dan melaksanakan shalat ‘Id esok harinya.

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

-   Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id jika tidak diketahui telah masuk ‘Idul Fithri kecuali setelah berakhir (keluar) waktu pelaksanaan shalat ‘Id, maka pelaksanaannya ditunda esok harinya. Namun jika diketahui ketika masih dalam rentang waktu shalat ‘Id, maka dikerjakan hari itu juga.

-    Shalat yang dikerjakan esok harinya, apakah shalat ada` (tunai) atau qadha? Jawabnnya adalah shalat ada` (tunai), karena berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pelaksanaannya adalah ada’ (tunai).

(lihat Syarh Bulughul Maram , Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).

13. Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meletakkan bab dalam Shahih-nya : “Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id maka Hendaknya Mengerjakan Shalat Dua Raka’at.”

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa cara mengerjakan Shalat Dua Raka’at tersebut adalah  persis dengan dengan cara pelaksanaan Shalat ‘Id itu sendiri, namun tanpa khuthbah.

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat jika terlewatkan shalat ‘id maka tidak perlu diqadha’. Karena dua alasan :

-  karena tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

-  karena Shalat ‘Id adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama pada waktu tertentu, tidaklah disyari’at pelaksanaannya kecuali dengan cara tersebut.

14. Takbir Pada ‘Idul Fithri

Disyari’atkan bertakbir pada ‘Idul Fithri, dimulai sejak keluar berangkat menuju shalat ‘id hingga dimulainya khutbah ‘id. Ini berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejumlah shahabatnya.

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa takbir dimulai semenjak tenggelamnya Matahari malam ‘Idul Fithri.

Adapun lafazh takbir :

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

Atau boleh juga :

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد.

15. Mengucapkan Selamat pada Hari Raya

Dari Jubair bin Nufair berkata, “Dulu para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertemu pada hari  ‘Id, yang satu mengucapkan pada lain :

تقبل الله منا ومنكم

Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda

(diriwayatkan oleh Al-Muhamili)

Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata :

“Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama muslim (pada Hari Raya) :

“Taqabbalallahu minna wa minka a’malana ash-shalihah”

dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/25)

http://www.assalafy.org/mahad/?p=363